Untuk hari-hari yang mulai tak biasa perempuan itu raba penghabisannya, dan ketidak pastian yang menggelayuti, ia menuturkan cerita singkatnya.
Beberapa hari belakangan, perempuan itu menemukan dunia barunya.
Dunia dengan segala nuansa baru dan pengalaman yang mungkin terbilang mampu mencetak tiap degup baru di tiap harinya. Ia menikmatinya, seakan ingin berselimut manja hingga tidak terbangun dan menjejakkan kaki di dunia lain.
Layaknya sekedar mimpi, segala yang ia seringkali ucapkan di kabulkan oleh sang pencipta alam semesta, yang mana dengan jahil-Nya menjadikan ucapnya menjadi begitu nyata. Dengan langkah ringan di tiap harinya, perempuan itu menunjukkan riangnya dalam kuluman senyum yang tiada padam.
Hingga suatu ketika, sang perempuan dihadiahi sepasang lengan yang mampu menangkup hari-harinya, menimbun laranya dan seraya menunjukkan jalan lain yang ia kira tidak akan pernah ia lewati. Terlalu berkabut, terlalu jauh, dan masih banyak pikiran lainnya yang perempuan itu pikirkan sesaat sebelum menapak. Sepasang lengan berwujud dan merupakan kado dari sang Pencipta, terus mencoba mengajaknya menapak satu persatu, meyakinkannya bahwa setiap permulaan akan menuju akhir, meskipun akan selalu ada jarak yang mesti di tempuh.
Dunia baru yang semula membuatnya terus berjalan dengan degup jantung tak beraturan, kini berdampingan dengan jalan setapak dengan jarak yang tidak terukur. Sepasang lengan itu pula ternyata mampu menggenggam tangan dan keyakinan sang perempuan sedikit demi sedikit dengan lebih erat. Sungguh luar biasa, sepasang lengan yang baru hadir mampu membawanya melangkahi banyaknya terjal ketidakyakinan. Membuatnya seketika limbung dan terlalu mabuk atas egonya, ia pun memilih untuk menggandeng keduanya, karena ia mulai mencintai segala hal tentang dunia baru dan jalan setapak yang di tawarkan oleh sepasang lengan dan berbeda kehidupannya tersebut.
*plak*
Mendadak kenyataan menggoncangnya dengan tamparan. Memutarbalikkan kenyataan. Bahwa akan selalu ada hal tak terduga di setiap perjalanan. Tidak peduli bahagianya sang perempuan. Akan ada segelintir perih yang membayangi, bahkan rasa rindu untuk mencapai hari esok dalam pertemuan selanjutnya adalah semacam belati yang terus menancap dalam ingatan -- membekas dan memberikan rasa sakit tanpa teraba oleh indera -- dan ternyata sang perempuan tidak menyadarinya sedari awal.
Sungguh kasihan. Perempuan itu terlalu yakin dan lupa bahwasanya sepasang lengan itu bisa saja terselip dan mendadak terlepas, hilang di tengah kabut, diantara jarak yang membentang yang sedari awal ia yakinkan bahwa akan terasa lebih dekat daripada kelihatannya. Membuat jarak yang ada semkin membentang dan menjauh. Begitu juga dengan dunia barunya yang terus berputar, dan kini ia merasakan rasa kelam saat gelap datang.
Tersudutlah sang perempuan dalam dua sisi yang ia sayangi, sekaligus memaksanya untuk mengerti. Bahwa kehilangan dan ketidakpastian di tiap harinya akan selalu berkemungkinan untuk terjadi. Merelakan salah satu adalah jalan tengahnya.
Membuatnya harus segera mematikan rasa peduli.
Sebelum seluruh rasa yang ia miliki habis dibawa lari.
"Hanya sekedar mimpi, tapi kenapa terasa begitu nyata dan menyakitkan..."
Sang perempuan itu terbangun, meraba pipinya, menghapus air matanya, menyadari bahwa cerita sebelumnya memang hanyalah sekelebatan mimpi, tepat sebelum banyak keputusan besar yang ia harus ambil. Menatap jam dinding dan keluar jendela, menyadari ternyata ia sudah terlelap begitu lama. Cukup lama untuk mengenyampingkan kenyataan. Kini ia merapikan kembali dan menjaga setiap inci kesadarannya, hingga tidak boleh terlelap.
Lampung, November 2016
Ketika rindu untuk menulis sudah menumpuk, namun waktu yang semakin menipis.