Jumat, 25 November 2016

Kisah dunia baru sang perempuan dan sepasang lengan


Untuk hari-hari yang mulai tak biasa perempuan itu raba penghabisannya, dan ketidak pastian yang menggelayuti, ia menuturkan cerita singkatnya.

Beberapa hari belakangan, perempuan itu menemukan dunia barunya.
Dunia dengan segala nuansa baru dan pengalaman yang mungkin terbilang mampu mencetak tiap degup baru di tiap harinya. Ia menikmatinya, seakan ingin berselimut manja hingga tidak terbangun dan menjejakkan kaki di dunia lain.

Layaknya sekedar mimpi, segala yang ia seringkali ucapkan di kabulkan oleh sang pencipta alam semesta, yang mana dengan jahil-Nya menjadikan ucapnya menjadi begitu nyata. Dengan langkah ringan di tiap harinya, perempuan itu menunjukkan riangnya dalam kuluman senyum yang tiada padam.

Hingga suatu ketika, sang perempuan dihadiahi sepasang lengan yang mampu menangkup hari-harinya, menimbun laranya dan seraya menunjukkan jalan lain yang ia kira tidak akan pernah ia lewati. Terlalu berkabut, terlalu jauh, dan masih banyak pikiran lainnya yang perempuan itu pikirkan sesaat sebelum menapak. Sepasang lengan berwujud dan merupakan kado dari sang Pencipta, terus mencoba mengajaknya menapak satu persatu, meyakinkannya bahwa setiap permulaan akan menuju akhir, meskipun akan selalu ada jarak yang mesti di tempuh.

Dunia baru yang semula membuatnya terus berjalan dengan degup jantung tak beraturan, kini berdampingan dengan jalan setapak dengan jarak yang tidak terukur. Sepasang lengan itu pula ternyata mampu menggenggam tangan dan keyakinan sang perempuan sedikit demi sedikit dengan lebih erat. Sungguh luar biasa, sepasang lengan yang baru hadir mampu membawanya melangkahi banyaknya terjal ketidakyakinan. Membuatnya seketika limbung dan terlalu mabuk atas egonya, ia pun memilih untuk menggandeng keduanya, karena ia mulai mencintai segala hal tentang dunia baru dan jalan setapak yang di tawarkan oleh sepasang lengan dan berbeda kehidupannya tersebut.






*plak*

Mendadak kenyataan menggoncangnya dengan tamparan. Memutarbalikkan kenyataan. Bahwa akan selalu ada hal tak terduga di setiap perjalanan. Tidak peduli bahagianya sang perempuan. Akan ada segelintir perih yang membayangi, bahkan rasa rindu untuk mencapai hari esok dalam pertemuan selanjutnya adalah semacam belati yang terus menancap dalam ingatan -- membekas dan memberikan rasa sakit tanpa teraba oleh indera -- dan ternyata sang perempuan tidak menyadarinya sedari awal. 

Sungguh kasihan. Perempuan itu terlalu yakin dan lupa bahwasanya sepasang lengan itu bisa saja terselip dan mendadak terlepas, hilang di tengah kabut, diantara jarak yang membentang yang sedari awal ia yakinkan bahwa akan terasa lebih dekat daripada kelihatannya. Membuat jarak yang ada semkin membentang dan menjauh. Begitu juga dengan dunia barunya yang terus berputar, dan kini ia merasakan rasa kelam saat gelap datang.

Tersudutlah sang perempuan dalam dua sisi yang ia sayangi, sekaligus memaksanya untuk mengerti. Bahwa kehilangan dan ketidakpastian di tiap harinya akan selalu berkemungkinan untuk terjadi. Merelakan salah satu adalah jalan tengahnya.
Membuatnya harus segera mematikan rasa peduli.
Sebelum seluruh rasa yang ia miliki habis dibawa lari.





"Hanya sekedar mimpi, tapi kenapa terasa begitu nyata dan menyakitkan..."


Sang perempuan itu terbangun, meraba pipinya, menghapus air matanya, menyadari bahwa cerita sebelumnya memang hanyalah sekelebatan mimpi, tepat sebelum banyak keputusan besar yang ia harus ambil. Menatap jam dinding dan keluar jendela, menyadari ternyata ia sudah terlelap begitu lama. Cukup lama untuk mengenyampingkan kenyataan. Kini ia merapikan kembali dan menjaga setiap inci kesadarannya, hingga tidak boleh terlelap.






Lampung,  November 2016
Ketika rindu untuk menulis sudah menumpuk, namun waktu yang semakin menipis.


Jumat, 12 Agustus 2016

Ketika "pindah" tidak selalu mudah

Selamat datang, bulan kelahiranku. 

Sudah lama sekiranya aku tidak menyampaikan kabar dan menuliskan beberapa bait tentang kehidupan. Aku rindu. Maaf lama tidak menyambangi lembaran kertas digital ini. Bukan berarti aku lupa, hanya memang terkadang kesibukan untuk menjadi seseorang yang diharapkan untuk bisa hadir di segala ruang, menyita banyak waktu.

Agustus dua ribu enam belas,
terpaut hanya beberapa bulan dari cerita sebelumnya, namun terlihat seperti cukup lama. Rindu yang akhirnya akan aku tuang dalam barisan kata.

Bulan kelahiran yang seringkali di deifinisikan dengan rentetan catatan panjang resolusinya, beribu rencana yang diharapkan bisa dilakukan kali ini. Ada yang tertunda entah sekian lama dengan berjuta alasan, atau memang mungkin pikiran "waktu masih banyak" seringkali terbersit dan terbuai hingga tak sadar, waktu telah meninggalkan terlalu jauh.

Tahun yang sudah semakin banyak bilangannya, dan aku yang semakin denial tentang kehidupan untuk menjadi lebih dewasa. Bagaimana tidak, harusnya sekarang waktu tentang rencana kehidupan yang lebih berdua, nyatanya malah lebih memilih untuk menunggalkan diri, meraih apa yang masih jauh dan belum tergapai pasti. Bahkan resolusi ? Hanya setengahnya yang nyatanya terisi.

Bukan aku tidak cinta dengan kehidupan yang lebih baik dan menjadi manusia yang sebagaimana mestinya aku diumurku. Tapi bahkan untuk bertemu dengan tanggal lahir kembali, menjadi salah satu ketakutan yang tidak terelakkan. Iya, 1 tahun sekali untuk bertemu dan menyapa, tak pelak juga malah takut yang menghampiri. Ternyata aku semakin tua, tapi tidak semakin dewasa.

Bercerita tentang tahun yang baru, segala bentuk tentang "Pindah" menjadi tema cerita di tiap saatnya. Meskipun tidak pernah menjadi resolusi, ternyata Tuhan mencoba memberikan jalan lain di berbagai cerita kehidupan hamba-Nya. Benar bahwasanya pun segala sesuatu yang seringkali tidak pernah terpikirkan untuk akan benar terjadi, malah akan di wujudkan dengan berbagai cara.


Bukan hanya berganti tahun, tapi juga untuk sementara waktu akan pindah untuk pulang kembali ke pelukan keluarga. Tidak hanya itu, tapi juga tentang hati. Hati yang berulangkali mesti di yakinkan, karena perpindahan tentunya tidak akan pernah mudah. Meskipun menyangkut tentang penggapaian salah satu mimpi besar, yang sedari dulu ingin sekali diwujudkan. Dan disini aku sekarang. Pindah untuk menggapai mimpi di sebuah lingkungan yang tidak baru, namun tetap terkadang masih terasa asing.  

Pindah tidak selalu mudah. Membereskan satu persatu yang ada, hingga tanpa sadar menemukan banyak hal yang telah lama tak diraba. Memilah mana yang harusnya dibawa, meninggalkan mana yang baiknya tak perlu lagi ada. Butuh pertimbangan yang tidak sebentar, karena bila sedikit saja aku salah memasukkan, maka selamanya akan selalu terbawa sebagai kenangan yang entah nantinya akan aku butuhkan atau nyatanya menjadi tidak menyenangkan.

Pindah tidak selalu mudah. Banyak hati yang harus direlakan keberadaannya. Tentang keluarga, sahabat,  hingga yang aku anggap cinta, ataupun ternyata hanya suka. Kehidupan yang sekiranya dianggap akan lebih terasa lebih indah, nyatanya tidak akan begitu setiap harinya. Ada banyak pertarungan pendapat yang lebih hebat di kedepannya. Untuk masa depan yang bukan lagi hal  main-main untuk diputuskan.

Pindah tidak selalu mudah. Akan banyak cerita tentang hari istimewa yang mungkin tidak akan aku sempat rasakan. Aku lewati, namun tidak untuk aku anggap begitu saja pergi. Tidak hanya kalian yang ingin aku tetap tinggal, begitupun aku. Tidak perlu lagi menambah air mata tertahan, cukup tinggalkan tawa sebagai kenangan.

Terimakasih aku haturkan untuk mereka yang telah meramaikan Agustus bulan kelahiranku dua ribu lima belas kemarin. Baik buruknya, aku tetap merundukkan kepala dan melebarkan senyuman untuk setiap inci kesempatan, kesalahan, dan pelajarannya. Untuk mereka yang telah mencoba menyempitkan ruang rindu yang seringkali terlalu lama untuk terisi penuh dengan sebuah pelukan, membantu melegakan diri dalam tawa dan tangis yang seringkali berkepanjangan, menjejakkan tambahan pengalaman akan hal baru yang membekas dalam ingatan, hingga yang pernah datang lalu tinggal atau malah akhirnya melangkah pergi. 

Percayalah, hati lebih dari ini. Keraguan yang semula akan terasa begitu mendera akan berganti dengan ketenangan yang tiada henti. Bahwa nyatanya tidak ada alasan yang pantas untuk meninggalkan, kecuali dengan imbalan untuk kembali pulang yang lebih membahagiakan.
Insya Allah.


Sekali lagi, 
selamat datang agustus bulan kelahiranku dua ribu enam belas.
Semoga kita berjodoh kali ini.








Lampung, pertengahan agustus 2016
Ketika "Float - Sementara" dalam kondisi terputar berulang kali


Selasa, 05 Januari 2016

Aku yang seringkali meng-aku-kan diri, maaf.

"Aku kini terjatuh dan ingin mencoba untuk dimengerti. Lelah. Ingin sejenak meluruskan kaki yang berat untuk melangkah."

Berkaca pada hal yang seringkali aku hempaskan, seringkali aku mencoba untuk mendobrak rasa keterbatasan yang mengekang terlalu keras. Sakit, memang tidak terlalu. Aku masih kuat untuk menahan diri, untuk tidak tenggelam terlalu jauh. Tetapi seakan terlalu berdarah dan semakin tidak berhenti, kala aku tau bahwa dirimu malah menjauh dan menggelengkan kepala, tanda ketidak mengertian yang menjadi.

Sekelibatan masalah yang merundung di hari-hari belakangan, ah, jangan tanya pula dengan kegagalan yang menghampiri. Keambisiusanku seakan menjadi berkeping, hancur berantakan. Tak sadar, kegagalan tersebut aku jejak tanpa menggunakan alas. Tak kepalang, mengepal sudah tangan ini untuk menghentikan rasa sakit yang menggigit. Menjalar, menyetubuhi kekosongan diri. Hingga akhirnya aku terlalu diam, seakan menjadi terlalu aktif untuk tak bergeming dari peraduanku kini.

Maaf bila akhirnya aku harus melihatmu duduk terdiam mengalirkan perih, karena sikap dingin dan kata-kataku yang membuat kita tak berhenti untuk beradu kata. Air mata yang harusnya tak perlu untuk dikeluarkan oleh makhluk sepertimu, tak sengaja akulah yang menjadi pemicunya. Lelaki ini yang sedang terhempas rasa ketidakmampuan, rasa yang luar biasa mengikis rasa ketidak percayaan dirinya. Lelaki yang mencoba untuk seringkali mengangkatmu dalam keberagaman warna kata, padahal tahu bahwa dirimu tidak akan mampu tergambarkan, walaupun hanya setitik.

Aku yang seringkali meng-aku-kan diri di depan kenyataan pahit, terlalu angkuh, terlihat ingin tetap tersenyum seakan melambai bahwa semuanya baik-baik saja. Namun sebenarnya terkadang tidak mampu melihat dengan tatapan penuh harap. Berpikir bahwa tidak akan ada harapan sedikitpun disana, dengan sesungguhnya mengemban banyak sekali harapan pada kenyataan yang di tinggikan di setiap pundak diri. Berakhirlah aku dengan meracau akan ketidakmampuan diri sendiri, menyedihkan bukan ?

Tapi maaf bila aku tidak menunjukkan sisi yang berkabut ini kepadamu, kepada kalian para penonton setia hidup orang lain. Aku hanya tidak ingin menjadi salah satu pemeran utama di atas panggung perkataanmu. Tidak perlu rasa belas kasih terlalu berlebihan, aku mampu, bila aku mau. Hanya mungkin terkadang butuh jeda sedikit lebih lama untuk menjauh dan berlayar menjelajah, untuk menghangatkan diri yang mendadak membeku, atas ketidakjelasan jalan hidup yang Tuhan seringkali tetapkan. Bukan berarti aku menyerah, bukan begitu.

Teruntukmu yang kini sedang aku usahakan sebagai tempatku kembali pulang, mohon mengerti sedikit lebih banyak lagi. Untuk keadaan yang sedikit lebih baik.

Janjiku, aku akan kembali pulang, secepatnya waktu yang bahkan akan kamu syukuri pada akhirnya.