Minggu, 26 Oktober 2014

Untuk Ayah, MAAF

Maaf ayah, aku menyesal karena tidak menyimak cerita yang menjadi cerita terakhir sebelum ayah meninggalkan rumah.

Ini kesalahaanku juga kebodohanku yang hanya bisa diam ketika keadaan memanas.


Anak bodoh ini tak cukup dewasa untuk menyelesaikan persoalan sendirian.
Anak bodoh ini hanya bisa menangis dan melarikan diri ketika rumah begitu sesak dan panas.
Anak bodoh ini hanya bisa menyesali kepergian ayah yang begitu di cintainya...
 

Ayah, kenapa aku tak menyadari apapun bahwa sebenarnya ayah sudah tidak tahan berada dirumah. Ayah selalu bersikap seolah tak ada apapun. Seperti biasa pukul dua saat ayah baru pulang kerja ayah selalu membangunkanku dan menawariku makan apapun yang kadang sengaja ayah bawakan untukku, pagi ini ayah tak membawa makanan tapi ayah membuatkan ramen pedas untuk kita makan bersama. Hingga pukul empat pagi pun kita masih menonton drama korea bersama.

Pukul tujuh aku bangun keadaan masih seperti biasa, tidak ada yang berubah. Aku tidak tahu ayah sudah pergi karena keadaan rumah memang selalu sepi.

Aku membuka gordeng dan membuka jendela agar ada sirkulasi udara yang keluar masuk, mematikan lampu-lampu, kekamar mandi untuk cuci muka, kemudian seperti biasa sarapan dan sudah disiapkan. Aku belum tahu apapun mengenai kepergian ayah dari rumah karena aku fikir ayah masih tertidur. 

Pukul 7.30 ibu pulang dari pasar, dalam hati mulai bertanya tidak biasanya ibu sudah pulang. ah mungkin pegawainya berulah lagi tidak datang gumamku. Ibu mendekatiku dan bertanya apakah ayah menelponku atau tidak. Aku bingung, ayah tidur kenapa menelponku? Ibu bilang Ayah menelpon mbak Ina. Ayah pergi kejawa subuh tadi. aku hanya bisa diam menahan air mata yang hampir tumpah.

Kenapa Ayah tidak berkata apapun?
Kenapa mbak Ina yang malah ditelpon?
Setidaknya Ayah bisa berpamitan dulukan jika memang ingin pergi...?

Aku tahu saat ini Ayah pasti sedang benar-benar sangat marah, Pergi tanpa pamit. 
Aku tahu saat ini Ayah pasti sedih dan kecewa.

Maaf Ayah...


Semoga fikiran Ayah disana bisa meredakan segala amarah, kesedihan dan kekecewaan Ayah.

Cepat kembali Ayah..

Anak gadis bodoh yang sangat Ayah sayangi dan menyayangi Ayah akan menunggu kepulanganmu dan akan selalu berdoa untukmu.

Baik-baik disana Ayah., jaga kesehatan Ayah agar nanti kita bisa bertemu lagi.

I MISS YOU AYAH...






I (should) know you're worth from the start

Apakabar kalian yang kini sedang berusaha untuk memperjuangkan kebahagiaan yang kalian miliki ? masih kuat bukan ? aku harap begitu ya :)

Cerita ini tidak tau darimana mulanya, yang pasti hingga kini cerita itu masih ada diantara kita. Disekeliling kita. Entah sadar ataupun tidak, karena terkadang kita kurang peka dengan apa yang terjadi. Sudah, akui saja.

"Aku ga tau dia masih pantas terima kesempatan berikutnya apa engga"
"Gue gak tau dia masih pengen ini lanjut apa engga"
"Aku sayang, tapi aku capek"
"blaaa...bla....bla...."

Kalimat-kalimat diatas cuma bebrapa contoh dari kalimat "keraguan" akan diri sendiri, orang lain, keadaan, dan lain sebagainya. Kita emang sebagai pihak yang juga "merasakan" pastinya hanya ingin apapun bentuk kebahagiaan yang kita miliki akan terus bertambah ditiap harinya, jangan sampai itu hilang dan membuat kita buta akan sesuatu yang kita sebut dengan "kata hati". Logika dan perasaan adalah 2 hal yang seringkali susah untuk diseimbangkan. Ketika logika berkata "sudah, cukup sampai disini" entah kenapa perasaan dapat menepisnya dengan kata-kata sederhana "dia masih pantas untuk disayangi. Dan aku sayang sama dia" iya kan ? pernah mengalaminya ? Aku. Pernah.

Ketika pada akhirnya kata "maaf" terasa hambar, kata "lelah" menjadi yang paling terwakilkan atas rasa yang ada, kata "Introspeksi" terlupakan karena ego yang meluap hingga memenuhi rongga kosong disetiap isi hati dan otak. Mungkin memang sudah saatnya kilas balik, entah apa yang salah selama ini diantara "kita", dari sisi aku maupun mereka.

Pernah gak sih sebelumnya kita berpikir apa yang sudah mereka lakukan buat kita, setelah sebelumnya kita marah-marah berpikiran negatif atas sebuah kesalahannya ? Pernah juga gak kita berpikir bagaimana susahnya kita mencoba untuk bertahan disegala kondisi untuk membuat kata "kita" untuk tetap ada ? Sudahkah kita mencoba untuk menghargai semua usaha  yang kita dan dia lakukan ?

Terkadang memang kita terburu emosi untuk mengakhiri apa yang sudah kita miliki, kebahagiaan yang mengisi hari-hari, rindu yang menaungi hari tanpa kehadirannya hanya karena kita tau mereka melakukan hal yang seringkali tidak sejalan dengan apa yang kita harapkan. Bukankah kita tau bahwa tidak semua hal akan berjalan sempurna. "Bila kita selalu mendapapatkan apa yang kita inginkan, lalu darimana kita belajar ikhlas ?" Kalimat yang menohok ketika membacanya, aku temukan di sebuah kolom status teman bbm. Benar-benar seperti disentil ketika aku membacanya saat menangis terisak karena sesuatu hal yang gagal terlaksana, malu. Sedari dulu selalu berkata, "Ikhlas itu ga semudah mengucapkannya" padahal tanpa disadari kita sudah diberikan kesempatan yang cukup banyak oleh Tuhan untuk mempelajarinya ketika kita gagal mendapatkan sesuatu, sekecil apapun kegagalan itu. Setidaknya sudahkah kita belajar untuk mengikhlaskan sesuatu yang walaupun kecil dengan sebenar-benarnya ? Bila dari hal kecil saja susah kita terapkan, bagaimana dengan hal yang lebih besar ?

Kita merasa lelah mungkin salah satunya karena disisi lain kita kurang bersyukur dengan apa yang selama ini kita miliki, tanpa kita sadari kita hanya merasa senang tanpa mengucapkan syukur, terimakasih atau sebagainya. Walaupun sebenarnya kita tau semua hal tidak ada yang abadi, akan terus berputar dan disitulah kita berada, ketika rasa "Sakit" mendera dan kita mulai membandingkannya dan beranggapan bahwa semua hal tidak patut untuk diperjuangkan. Jadi jangan salahkan kebahagiaan kita pergi dan mencari mereka yang lebih mampu menghargai dan menerima mereka, dengan hati dan lengan yang terbuka untuk senantiasa menemani dan menempatkannya ditempat yang seharusnya. Karena kita sendiri lupa bahwa mereka juga patut diperjuangkan, bukan hanya karena rasa bahagia yang membuat hidup menjadi lebih indah, tetapi juga atas rasa sakit dan khilaf yang ternyata dibalik itu mengajarkan kita untuk menjadi lebih kuat. Jangan sampai keluar pernyataan seperti ini suatu hari nanti, "Andai saja aku mampu bersabar sedikit lagi, memperjuangkannya lebih keras lagi dan menggenggamnya lebih erat lagi"

Perjuangkanlah mereka yang pantas untuk berbagi kebahagiaan denganmu. Kamu tau mereka pantas mendapatkannya.






Untuk aku dan mereka yang saat ini sedang bimbang dalam membangun kepercayaan dan mengambil keputusan, berusahalah menjalani hari ini tanpa terantuk kenyataan pahit di masa lalu dan ekspektasi berlebihan di masa depan :)

Selasa, 07 Oktober 2014

Cerita baru tentang kepercayaan perempuan itu.



Kala jari jemariku merindukan selanya diisi olehmu
Kala itu aku menyadari bahwa aku tidak sesempurna itu untuk menahan segalanya.

Kala langkahku terasa goyah ketika berjalan tanpa didampingimu
Kala itu aku menyadari bahwa kehampaan bisa datang dengan sesederhana itu.
Kamu, menjadi alasanku untuk menyadari bahwa alasan termudah untuk meluapkan emosi adalah, ketidakberadaanmu di sisi, atau setidaknya ketiadaan kabar meski hanya berupa pesan singkat.

Kamu, menjadi alasanku untuk menyadari bahwa alasan termudah untuk meredakan amarah adalah, ketika pelukanmu menjadi tempat kembali ternyaman, menjadi penawar dalam emosi.

Tanya perempuan itu dengan berbisik.
Masih ingat tentang perempuan yang menyukai toko buku ? Perempuan itu dan tempat ternyamannya  yang pernah aku haturkan kisahnya kepadamu. Aku ingin menceritakan sedikit kelanjutan kisahnya, karena sepertinya telah melewati banyak hari dan cerita baru.

Ini rahasia, bisakah kamu menjaganya ?

Perempuan itu ternyata telah bertemu dengan seseorang, yang kini seringkali mengiringi langkahnya untuk sekedar mengitari tempat kesukaannya. Atau mungkin untuk sekedar menghabiskan waktunya duduk diam menghadap layar ketika film kesukaan sedang diputar di bioskop, mungkin juga ketika kesukaannya untuk menghabiskan semangkuk ramen pedas.

Perempuan itu telah bertemu dengan seseorang, yang bisa ia genggam tangannya ketika melewati hamparan pasir pantai. Juga ketika perempuan itu ingin menghabiskan hari menikmati tenggelamnya matahari.  Ia telah menemukan seseorang yang ia ingin habiskan hari-hari untuk bersandar, mencurahkan keluh kesah, meluapkan emosi ataupun menitipkan hatinya sejenak untuk beristirahat.

Tapi sayang, ketika keegoisan untuk memiliki mengaburkan pandangan hatinya, ia menjadi sedikit lebih arogan dari biasanya. Perempuan itu terlalu buta oleh rasa sakit yang pernah ia rasakan, dulu. Ia mengedepankan rasa takutnya untuk akhirnya membuat jarak antara mereka. Membuat rasa manis mendadak menjadi terlalu hambar untuk dicecap masing-masing.

Tak peduli kini perempuan itu terduduk menahan sakit entah dari fisik ataupun hatinya, perempuan itu merasa ada yang hilang ketika amarah menguasai dirinya. Dirinya sungguh terlalu bodoh untuk menegaskan kenyataan yang sepenuhnya hanya kekhawatiran. Tapi perempuan itu masih berdiri di tempatnya dengan keegoisan. Mengharapkan pengertian tentang rasa sakit, betul begitukah ?

Perempuan itu sudah mampu sedikit demi sedikit mempercayakan hatinya, meletakkannya di genggaman seseorang yang ia tahu bisa sangat menyakitkan bila dihancurkan kembali. Kapan pun itu, ia masih belom siap. Meski hatinya pernah terjatuh dan berserakan tak berbekas, oleh tangan orang lain yang hanya berbalik pergi tanpa ada penjelasan pasti, perempuan itu mampu melekatkan lagi setiap serpihannya untuk bertahan hidup.

Waktu menjadi teman terbaik sang perempuan, untuk memoles kembali hatinya untuk menjadi lebih menarik lagi. Pelajarannya untuk tidak selamanya bisa percaya, seringkali membuatnya menyembunyikan hatinya lebih dalam dari yang seharusnya. Seperti layaknya seorang anak kecil yang tidak ingin tersentuh oleh tangan kotor sehabis bermain dengan kebohongan. Perempuan itu melapisi hati rapuhnya dengan sangat hati-hati. Memilah tangan mana yang bisa ia titipkan ketika ia ingin berlari sebentar tanpa beban, tanpa harus berhati-hati karena hatinya sedang ia bawa dan terlalu rapuh untuk diajak berlarian.

Meski seringkali keraguan menggetarkan dan hampir membalikkan semuanya. Memecah semua balutan kenyataan manis. Karena seringkali juga keegoisan untuk diakui bisa saja memporakporandakan segala rencana, hanya untuk perasaan "termiliki", perempuan itu mencoba melakukan segalanya. Perempuan itu jelas sangat tahu rasanya untuk disembunyikan, dianggap tiada kehadirannya, dilewati seakan alfa, ketika nyatanya ia punya hak pasti untuk dibanggakan dan disadari ada-nya. Ketika ia berhenti melangkah, karena seseorang yang pernah ia percaya, hanya berbalik tanpa menahannya untuk mengucapkan kata selamat tinggal. Perempuan itu tau bagaimana rasanya kenyataan sakit menghantamnya tanpa dia sempat sadari untuk berlari menghindar.

Perempuan itu tidak ingin merasakan sakit lagi, hingga harus merelakan melihat hatinya kembali berserakan.

Tangan seseorang yang menggenggam hatinya, kini memiliki kekuasaan yang sepenuhnya bisa ia lakukan untuk menghancurkan. Tetapi perempuan itu hanya bisa meletakkan hati beserta kepercayaan disampingnya.

Teruntuk lelaki yang saat ini perempuan itu sedang percayakan hatinya, 
Maaf bila memang perempuan itu terlalu egois untuk menyatakan kepemilikanmu atas dirinya. Tak peduli bagaimana dirimu, ia melihatmu dengan percayanya. Karenanya pula perempuan itu sadar, bahwa di dalam dirimu telah ia titipkan separuh tentang kehidupannya. Tentang kenangan maupun impian masa depan.


Karena perempuan itu saat ini memilihmu,
Ketika letihnya terlalu lama terjaga sendiri,
Bisakah kamu menjaga hatinya?


Akhirnya perempuan itu menyatakan akhir dari pertanyaannya.



Lampung, malam selepas hening tanpa kabar
Backsound : Close your eyes - Michael Buble