Ada
kalanya kita menunggu seseorang, ada kalanya juga kita harus berhenti menunggu
orang itu. Mungkin itu yang sedang aku rasakan. Inilah batas lelahku menunggu
dalam ketidak pastian. Aku lelah terus menunggu sendiri sejak awal, sedangkan
kamu selalu menikmati keadaan ini. Keadaan dimana kamu bisa dengan sesuka hati
memperhatikanku yang entah dari mana aku tak tahu. Sejak awal akulah yang terus
kamu sakiti, sejak awal kamulah yang selalu memberikan harapan-harapan tentang
indahnya bersama denganmu, indahnya masa depan yang akan kita bangun bersama.
Entah
sudah berapa banyak rencananya yang sudah kita bangun bersama menjadi hancur
berantakan karena keputusanmu untuk mengakhiri segalanya disaat semuanya belum
dimulai. Apakah kamu tahu betapa hancurnya hatiku saat kamu memutuskan seperti
itu ? Taukah kamu berapa banyak air mata yang aku keluarkan sejak kamu
memutuskan semua sampai sekarang ? Pernahkah sedikit saja kamu memikirkan perasaanku
? Lihat aku tepat dimataku, kamu akan tahu betapa sakitnya dan hancurnya hatiku
karena keputusanmu itu.
Diawal
kamu memutuskan untuk mengakhiri semuanya, kamu pernah meminta agar aku tidak
berubah. Tapi sekarang nyatanya kamulah yang berubah. Kamu seolah menjauhiku,
bukan hanya itu saja. Semua itu berawal dari peneguran sahabatku bukan? Setelah
aku fikir-fikir kembali sejak saat itu, sejak sahabatku menemuimu dan menegurmu
tanpa sepengetahuanku seketika kamu pergi tanpa pamit, hilang tanpa jejak.
Kecewa
? jelas aku sangat kecewa. Kamu yang aku pikir lebih dewasa diantara kita,
ternyata kamulah yang paling kekanak-kanakan. Kamu memutuskan untuk menjauhi
semuanya, tanpa memberikan penjelasan yang masuk akal.
Akhirnya
aku sampai di tahap ini. Posisi yang sebenarnya tak pernah kubayangkan. Aku terhempas
begitu jauh dan jatuh terlalu dalam. Kukira langkahku sudah benar. Kupikir anggapanku
adalah segalanya. Aku salah, menyerah adalah jawaban yang aku pilih; meskipun
sebenarnya aku masih ingin memperjuangkanmu.
Aku
terpaksa berhenti karena tugasku untuk menunggumu kini sudah selesai. Hari-hariku
yang tiba-tiba kosong dan berbeda ternyata cukup membawa rasa tertekan. Mungkin
ini berlebihan. Tentu saja kupikir ini sangat berlebihan karena kamu tak ada
dalam posisiku, kamu tak merasakan sesaknya jadi aku.
Jika
aku punya kemampuan membaca matamu dan mengerti isi otakmu, mungkin aku tak
akan mempertahankan kamu sejauh ini. Jika aku cukup cerdas menilai bahwa
perhatianmu bukanlah hal yang terlalu special, mungkin sudah dari dulu kita tak
saling kenal. Aku terburu-buru mengartikan segala perhatian dan ucapanmu adalah
wujud terselubung dari cinta. Bukankah ketika jatuh cinta, setiap orang selalu
menganggap segala hal biasa terasa begitu special dan manis? Aku pernah
merasakan fase itu. Aku juga manusia biasa. Kuharap kamu memahami dan
menyadari. Aku berhak merasa bahagia karena membaca pesan singkatmu disela-sela
dingin malamku. Aku boleh tersenyum karena detak jantungku tak beraturan ketika
kamu memberi sedikit kecupan meskipun hanya berbentuk tulisan.
Aku
mencintaimu. Sungguh. Mengetahui kamu menghilang begitu saja adalah hal paling
sulit yang bisa kumengerti. Aku masih belum mengerti. Mengapa semua berakhir
sesakit ini? Aku sudah berusaha semampuku, menjunjung tinggi tinggi kamu
sebisaku, tapi dimana perasaanmu? Tatapanmu dingin, sikapmu dingin, kamu pergi
begitu saja tanpa penjelasan apapun.
Jika
kauingin tahu, aku kesesakan dalam status ini yang menyedihkan itu. Aku terkatung-katung
sendirian. Meminum asam dan garam, membiarkan kamu meneguk hal-hak manis. Begitu
banyak yang kulakukan, mengapa matamu masih belum terbuka dan hatimu masih
tertutup ragu.
Sejak
dulu, harusnya tak perlu kuperhatikan kamu sedetail itu. Sejak pertama mengenalmu,
harusnya tak perlu kucari kontakmu dan meladenimu dengan begitu lugu. Sejak tahu
kehadiranmu, harusnya aku tak menggubris. Aku terlalu penasaran, terlalu
mengikuti rasa keingintahuanku. Jika dari awal aku tak mengenalmu, mungkin aku
takkan tahu rasanya meluruhkan air mata di pipi.
Iya.
Aku bodoh. Puas?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar