Tersayat
hatiku akan hilangnya ketepatan janji. Dia pernah mengingkarinya lalu pergi.
Diucap saat saling menggenggam. Dan dihempaskan tanpa alasan. Semudah itu
dilupa, sesulit itu pula ia untuk menepatinya. Kusadari kini kesungguhan janji
yang terucap dari bibir manisnya hanya sebatas kata.
Aku pernah berbagi tentang apa-apa yang telah membuatku sulit lagi untuk membuka hati. Namun ia tidak sekuat yang kuharapkan untuk menjaga sesuatu yang lemah dariku dimasa lalu. Ingatannya tak sekuat usahaku menahan luka yang tertinggal, hanya sebatas kata.
Telingaku disentuhnya oleh desahan nafas yang meneduhkan dan mencairkan keraguanku untuk membuka hati yang hampir membeku. Suaranya semakin jelas berbisik bahwa kehadirannya akan selalu ada disetiap rinduku tergelincir perlahan menghampiri mimpinya. Kehadirannya akan selalu ada saat sebuah inginku mengharapkan kehadirannya untuk memeluk hangat tubuh ini. Dan kali ini bukan hal yang tidak mungkin ia ingkari lagi, janjinya untuk hadir saat ingin dalam hatiku tiba, hanya sebatas kata.
Tatapannya pernah lebih tajam dari Burung hantu Eurisia saat mengamati kerisauan ku meragukan ketepatan janjinya.
Tatapannya
pernah setajam itu dan akhirnya melenyapkan segala takutku akan kehilangannya
tanpa permisi.
Tatapannya
pernah secepat itu meluluhkan kekosongan hati yang sudah lama sendiri.
Tatapan
dari wajahnya yang takkan bosan dipandang meluluhlantakkan kesungkananku untuk
merangkul hangat tubuhnya dari belakang.
Kata maaf dengan senyum pada wajahnya menghanyutkan keegoisanku untuk tidak semudah itu memberi maaf. Namun untuk kesekian kali aku gagal memberinya pelajaran. Dan janjinya untuk tidak mengulangi kesalahan yang sama, hanya sebatas kata. Permintan maaf yang terlontar dari indah parasnya hanya sebatas kata.
Mungkin kehadiranku bukanlah harapan pada doanya. Mungkin keberadaanku bukanlah akhir pada pencariannya.
Mungkin
ketika ia mencari tempat bersandar hanya aku yang besedia ada, meski hanya
sementara.
Mungkin
keterlambatanku hadir pada kesendiriannya tidak menemukan celah untuk sebuah
keseriusan.
Mungkin
saat ia mulai yakin akan segala komitmen yang terucap, ada sesuatu yang lebih
mahir meluluhlantahkan hatinya hingga ia berpaling dariku begitu cepat.
Mungkin
juga Tuhan hanya ingin menjadikan kehadirannya sebagai anak tangga agar aku
menemukan seseorang yang tepat tanpa ada kata terlambat. Dan kini aku berhenti
untuk mencari. Kedatangannya mengingatkan aku pada sebuah perpisahan yang tak
diharapkan. Bertahun-tahun yang lalu aku menutup hati dan ia membukanya dengan
mudah. Kini kututup kembali semuanya.
Ketika
kamu sadar bahwa kehadiranku berarti bagi hidupmu, kemarilah. Semoga Tuhan
masih mengizinkan aku untuk membukakan hati yang kau buat kecewa. Semoga sosok
lain tidak memulihkan hatiku yang kau buat penuh luka.
Ketika
kamu kembali, jangan ucapkan apapun yang pernah kau ingkari. Aku tahu dan
mengerti bahwa itu hanya sebatas kata dan percayalah, aku tidak membutuhkan
lagi luka yang sama. Maka bersandarlah disini dan aku tidak akan menahanmu
ketika ingin pergi. Tapi satu permintaanku dari hati, katakanlah ketika kamu
ingin pergi. Agar tidak kesekian kali kau renggut susah payah usahaku mengobati
luka yang kau ciptakan dihati ini.
Lampung, 29 April 2014