Senin, 24 Maret 2014

A Letter To God (1)






Tuhan....
Maaf, karena aku begitu bodoh. Baru terpikirkan dalam benak tuk menuliskan surat ini untuk-Mu. Seharusnya ini adalah hal ketiga yang aku lakukan setelah berdoa dan melantunkan ayat-ayatmu demi menenangkan hatiku. Dan aku tahu Engkau melihatku menulis surat ini dari Atas sana.  Kau duduk di singgasana-Mu, memperhatikan aku menggoreskan kata – demi kata dalam lembar kertas kosong dengan penuh rasa sesak yang amat sangat.

Tuhan…..
Maafkan aku yang terlalu sering melupakanmu, kau tak pernah lari ketika aku meninggalkanmu, kau tak pernah berbalik memaki ketika aku merasa ini tidak adil. Ya, saat ini aku kesal, aku marah, hatiku sesak, aku ingin menangis setiap kali ada celah, aku tau kau tak suka ini.

PELUK AKU TUHAN! PELUK AKU ERAT! :’(



Aku terus merasa sendiri, aku terus merasa sesak seolah berada dalam ruangan yang hitampekat amat gelap padahal lampu kamarku masih menyala dengan pendinginnya dan aku membolak – balikan tubuhku ke samping kiri dan kanan. Namun rasanya tetap sakit, sesak. Tidur dengan posisi terlentang pun hanya akan memunculkan sugesti yang buruk untukku. Berkali – kali  muncul bayangan akan batu – batu besar yang ditimpakan dari atas dan menindih tubuhku. Pedih. Namun, aku tak dapat mengeluarkan suara. Jangankan berteriak, berbisik lirih saja pun aku tak mampu. Dan sebagai gantinya, air mengalir, menggenangi pelupuk mataku. Sebagai tanda aku kesakitan.





Tuhan....
Aku memang tak terlalu ingin membiarkan orang lain tahu akan isi hatiku. Tapi, sesekali akan ada masa di mana aku mau orang – orang terdekat yang aku cintai, yang kehadirannya menciptakan warna dalam hidupku, untuk tahu dan mengerti tentang perasaanku. Namun, lagi – lagi kesulitanku untuk mengutarakan selalu mengacaukan segalanya. Mereka seringkali salah paham terhadapku. Mungkin persepsi yang lebih mendominasi isi kepala mereka dibandingkan keinginan yang lebih mendalam untuk mencerna kata demi kata yang terlontar dari padaku. Kalau sudah begitu, selalu timbul penyesalan dalam diriku, “Mengapa aku mengatakannya? Seharusnya aku diam.”

Tuhan....
Kemarin (mungkin) adalah salah satu dari sekian banyak hari terburuk yang pernah terjadi dalam hidupku.

Aku menangis sepanjang hari dan hanya mengurung diri menyesali tapi juga tak terima kenapa kau tak mudahkan aku seperti kau memudahkan yang lain? Apa salahku? Dimana letak kesalahanku? Bisakah kau beri tahu aku? Dimatamu masih kurangkah segala upaya yang telah aku usahakan demi memerangi masa depan?


Tuhan.... Salahkah aku bila kurasa lelah untuk menampung segala yang sesak ini dalam diam?


Aku telah begitu lama memendam, mungkin hingga semuanya membusuk dalam hati. Engkau Yang Maha Tahu tentangku ya Tuhan. Kau yang paling mengetahui seberapa besar emosi dan amarah, kesedihan dan kelelahan, yang mungkin telah berada di puncak, jauh dari apa yang orang lain rasakan. Namun, seperti biasa Kau selalu menopangku. Kau membantuku tuk meredamnya. Kau menurunkan emosiku demi menenangkan diriku yang kalap. Aku tahu aku bisa melakukan ini karena diri-Mu :’)


Tuhan....
Hari ini pun lelah dan gelisahku tak kunjung hilang, tanpa dapat kugambarkan dengan jelas apa penyebabnya.


Tuhan....
Aku lebih memilih untuk membiarkannya mengendap. Hingga rasanya mau meledak. Walau sebenarnya ingin ku berlari ke tengah lapangan rumput hijau yang luas kemudian berteriak sekencang – kencangnya demi melegakan diriku.


Tuhan...
Aku menuliskan surat ini agar kau bisa menyampaikannya kepada orang-orang yang aku sayangi, aku ingin mereka tahu jauh di lubuk hatiku aku menyayangi mereka lebih dari apapun meskipun aku sering berulah.

Tuhan…..
Tapi, maafkan karena aku menuliskan surat ini hanya di atas selembar kertas putih biasa.
Bukan kertas berwarna – warni dengan gambar yang indah.
Juga tulisanku yang kian semrawut, sama halnya dengan hatiku yang berantakan.
Juga karena air mata yang menetes melunturkan coretan tinta dari beberapa kata yang tertera di sini.


Tuhan….
Maukah kau menyampaikannya?


……………………………………………………………………………………………………………………

Kepada Ayah yang Aku Cintai

Ayah,  sebelumnya aku ingin meminta maaf terlebih dulu. Maafkan bocah ini yang terkadang bertingkah menyebalkan, bersikap manja meski bocah ini telah tumbuh menjadi gadis yang akan berusia 23th. Maafkan gadis kecilmu ini yang sudah memberikanmu kekecewaan. Maafkan gadis kecilmu ini yang masih belum bisa bersikap dewasa seperti apa yang seharusnya. Maafkan gadis kecilmu ini yang masih belum bisa membahagiakanmu, membanggakanmu. Maafkan gadis kecilmu ini yang sering membuatmu khawatir menungguku kepulanganku ketika matahari telah terbenam dan ketika aku belum sampai dengan cemas kau berupaya untuk menghubungi aku. Maafkan si gadis kecilmu ini yang terkadang sering membantah. Aku menyayangimu lebih dari yang kau tahu. Aku juga sama, aku tahu kau menyayangiku lebih dari yang aku tahu.

……………………………………………………………………………………………………………………

Kepada Ibu yang Aku Cintai

Ibu, sebelumnya aku juga ingin minta maaf atas semua kesalahan-kesalahanku yang begitu banyak, mungkin gadis bodoh ini telah membuatmu menumpahkan air mata atas kenakalan-kenakalanku saat aku di dalam perutmu hingga saat ini. Ibu, bagaimana aku menjelaskan semua ini, air mataku menetes begitu mengingat dan menyebut namamu. Aku teringat bagaimana kau berjuang siang dan malam bahkan lebih keras di banding ayah dengan usia yang tak lagi muda, dengan tenaga yang tak sekuat dulu kau berjuang mati-matian untuk membiayai kuliahku. Ibu, maafkan gadis bodoh ini. Ibu, maukah kau bersabar sedikit lagi agar aku bisa memerangi masa depan? Ibu, maafkan, kali ini aku berjanji akan memperjuangkan lebih keras lagi, aku akan mengingat semua segala perjuanganmu siang dan malam tanpa lelah, tanpa keluh, sakitpun kau abaikan untuk masa depan yang lebih baik untukku. Ibu maafkan gadis bodoh ini.



……………………………………………………………………………………………………………………

Kepada ayah dan ibu Tercinta

Ayah, Ibu, begitu banyak kata-kataku takkan pernah cukup untuk menggambarkan semua perasaanku, terimakasih telah ada di dunia ini, dan menghadirkan aku untuk menjadi anakmu yang kau rawat dengan segala ketulusan dan kasih sayang yang kau curahkan.
Ayah, Ibu, aku tau kalian sama-sama menyayangi dan mencintaiku meski dalam kemasan yang berbeda, aku tahu itu. Tapi ayah, Ibu, mengertikah kalian aku terluka saat ego kalian sama-sama tak ingin ada yang mengalah? Aku bukan anak kecil lagi saat ini, kalianpun sudah menua, samapi kapan kalian harus berselisih paham? Samapi kapan? Aku tau apa yang kalian selisihkan keduanya adalah benar tapi juga tak semuanya benar.
Selalu aku yang jadi alasan kalian bertengkar, tapi aku juga yang menjadi alasan kalian untuk bertahan. Tak bisakah kalian hangat lagi seperti dulu sebelum kalian mengikrarkan janji suci kalian?
Aku rindu ayah dan ibu seperti dulu, kemana cinta kalian semasa muda dulu?

Ayah, ibu, jika kalian tak bisa lagi bersatu aku mohon jangan jadikan aku alasan-alasan itu, aku terluka.
Seandainya kalian benar-benar berpisah aku akan mencoba memahami, aku akan berusaha mengerti, setidaknya kalian tidak memaksakan untuk terus bersama tapi hati kalian yang terluka, dan akhirnya kita semua yang terluka.

Meski kalian berpisahpun setidaknya kita takkan benar-benar berpisah, ayah masih tetap ayahku, dan ibu akan terus menjadi ibuku. Dan kalian tidak akan pernah terganti.

Aku selalu meminta kepada Tuhan agar aku bisa pergi lebih dulu sebelum kalian, aku tidak ingin kehilangan, kalian adalah orang tua terbaikku. Aku tidak akan bisa bila tanpa kalian. Aku akan meminta kepada Tuhan agar selalu menjaga kalian untukku, saling mengasihi dan terus bersama hingga kita di pertemukan lagi di surga.


……………………………………………………………………………………………………………………

Tidak ada komentar:

Posting Komentar